Mencintai Seni Budaya Indonesia
Kolom Blog Adhi Ksp
Mencintai Seni Budaya Indonesia
Dalam perjalanan di jalan tol beberapa hari lalu, saya mendengar dialog tentang nasib seni dan budaya Indonesia yang disiarkan sebuah radio. Intinya, pencinta seni budaya kecewa pemerintah kurang peduli pada seni dan budaya Indonesia. Dampaknya, generasi muda Indonesia sudah menjadi generasi MTV.
Saat ini banyak anak dan remaja Indonesia yang lebih hapal nama-nama penyanyi dan selebriti asing. Ini salah satu dampak globalisasi yang menyebar ke semua penjuru negeri. Musik R & B, rock, house music lebih dikenal ABG kita ketimbang tarian daerah, yang seharusnya dilestarikan dan dikembangkan. Siapa yang salah?
Hari ini kebetulan saya bertemu dengan pemimpin Sanggar Ayodya Pala Depok, Budi Agustinah. Ayodya Pala adalah sanggar budaya yang melahirkan banyak seniman tari. Jumlah muridnya sudah lebih dari 1.000 orang tersebar di lebih 20 cabang di Jabodetabek. Agustinah yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah ini sangat giat mempromosikan tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan Agustinah "membina" kelompok seni yang nyaris mati, hidup segan mati tak mau. Antara lain kelompok Pencak Silat Pajajaran Cimande Depok, Rampak Bedug dari Duren Mekar Sawangan, grup Barongsai dari Cimanggis, kelompok Reog Ponorogo dan Kuda Lumping, kelompok Perkusi Etnis dan banyak lagi. Anak didik Sanggar Ayodya Pala sering tampil di stasiun televisi Indosiar, Anteve, Trans TV dan Trans 7, juga diajak manggung di luar negeri.
Kontribusi Agustinah sungguh tak terkira bagi kemajuan seni dan budaya Indonesia. Dia konsisten melestarikan dan mengembangkan kesenian Indonesia. Ironisnya, seniman Depok merasa Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma'il kurang peduli pada lembaga yang mewadahi para seniman, yaitu Dewan Kesenian Depok. Sekretaris Umum DKD Nuning Darmadi mengatakan sejak Nur Mahmudi memimpin Kota Depok setahun lalu, hingga kini belum ada silaturahmi dengan para seniman setempat. Mereka membandingkannya dengan kepala daerah-kepala daerah terdahulu.
Depok mungkin hanya satu contoh. Tapi tulisan ini tidak menyoroti kebijakan Nur Mahmudi ataupun walikota dan bupati secara khusus. Tulisan ini lebih mengingatkan agar kita semua mencintai seni dan budaya Indonesia. Bahwa seorang kepala daerah perlu peduli pada seni budaya setempat, ya memang demikianlah seharusnya. Bahwa ada seniman yang kemudian protes atas ketidakpedulian kepala daerahnya, ya wajar saja.
Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke Shenzhen, China, melihat pertunjukan seni budaya China dari berbagai daerah. Ya, semacam Taman Mini Indonesia Indah-lah. Atau kalau di Sarawak, seperti Sarawak Cultural Village. Nah, di Shenzhen ini, biasanya tetamu diajak ke gedung kesenian yang mempertunjukkan seni budaya China yang luar biasa. Sehabis pertunjukan, para tamu yang datang berdecak kagum menyaksikan betapa indahnya kekayaan budaya China yang beragam itu. Pertunjukan dikerjakan sangat profesional.
Taman Mini Indonesia Indah? Nah, ini yang ingin saya sampaikan juga. Belum lama ini saya bertemu dengan General Manager TMII Bapak Sugiono, pensiunan jenderal bintang tiga di kantor TMII. Kita maklum, kondisi TMII sudah tidak seperti dulu lagi, ketika Pak Harto masih berkuasa atau Ibu Tien masih ada. Alhasil, TMII pun saat ini kondisinya pas-pasan. Bahwa banyak yang datang, ya iyalah. Tapi Pak Sugiono ingin mengubah citra TMII, bahwa TMII juga layak didatangi masyarakat menengah atas.
Artinya, TMII memang harus dibuat sedemikian rupa seperti Pusat Kesenian dan Kebudayaan Shenzhen di China yang mempertunjukkan aneka ragam kebudayaan China dari berbagai daerah, atau pun Sarawak Cultural Village di Malaysia Timur yang menampilkan aneka kebudayaan penduduk Malaysia. TMII memang sudah melakukan itu. Bedanya, di Shenzhen dan di Kuching, wisatawan asing berbondong-bondong datang, dan memberikan devisa kepada China dan Malaysia.
Di TMII? Pasti ada orang asing yang datang menikmati seni dan budaya Indonesia di TMII. Tapi tidak atau belum sebanyak di Shenzhen dan Kuching. Ini tantangan besar buat Pak Sugiono, bagaimana membuat TMII menjadi pusat pertunjukan seni budaya Indonesia.Bagaimana membuat orang asing yang datang ke Jakarta, merasa kurang afdol kalau belum datang ke TMII. Bagaimana membuat orang Indonesia sendiri mencintai seni budaya, dengan selalu menyaksikan pertunjukan seni ataupun pergelaran budaya di TMII.Tantangan kita semua, bagaimana generasi muda Indonesia bukan hanya menjadi generasi MTV tetapi generasi muda yang juga mencintai seni dan budaya Indonesia.
Oke-lah generasi MTV lahir sebagai dampak era globalisasi. Remaja Indonesia mahir ber R&B, tak ada yang bisa melarang. Tapi kalau si remaja juga pandai menari tarian daerah Indonesia? Waw, ini baru luar biasa. Beberapa tahun lalu ketika bertugas di Jawa Tengah, saya menemukan sejumlah buku berisi mutiara nilai kearifan budaya Jawa. Saya baca berkali-kali sampai hapal. Isinya sungguh luar biasa, semuanya tentang pelajaran kehidupan. Bagaimana dengan kearifan budaya daerah lainnya? Apakah masih ada yang peduli? Alangkah indahnya jika anak-anak Indonesia memahami nilai kearifan budaya lokal dan mempelajari aneka tari daerah Indonesia, bukan hanya kenal luar dalam ihwal Britney Spears, misalnya.
Salah satu cara, nilai-nilai kearifan budaya itu bisa saja ini dikemas lebih pop dan lebih gaul agar meresap di hati kaum muda Indonesia. Agar seni dan budaya Indonesia tetap dicintai generasi muda Indonesia, tidak luntur oleh gegap gempita budaya pop MTV.
Serpong, 22 Maret 2007
Mencintai Seni Budaya Indonesia
Dalam perjalanan di jalan tol beberapa hari lalu, saya mendengar dialog tentang nasib seni dan budaya Indonesia yang disiarkan sebuah radio. Intinya, pencinta seni budaya kecewa pemerintah kurang peduli pada seni dan budaya Indonesia. Dampaknya, generasi muda Indonesia sudah menjadi generasi MTV.
Saat ini banyak anak dan remaja Indonesia yang lebih hapal nama-nama penyanyi dan selebriti asing. Ini salah satu dampak globalisasi yang menyebar ke semua penjuru negeri. Musik R & B, rock, house music lebih dikenal ABG kita ketimbang tarian daerah, yang seharusnya dilestarikan dan dikembangkan. Siapa yang salah?
Hari ini kebetulan saya bertemu dengan pemimpin Sanggar Ayodya Pala Depok, Budi Agustinah. Ayodya Pala adalah sanggar budaya yang melahirkan banyak seniman tari. Jumlah muridnya sudah lebih dari 1.000 orang tersebar di lebih 20 cabang di Jabodetabek. Agustinah yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah ini sangat giat mempromosikan tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan Agustinah "membina" kelompok seni yang nyaris mati, hidup segan mati tak mau. Antara lain kelompok Pencak Silat Pajajaran Cimande Depok, Rampak Bedug dari Duren Mekar Sawangan, grup Barongsai dari Cimanggis, kelompok Reog Ponorogo dan Kuda Lumping, kelompok Perkusi Etnis dan banyak lagi. Anak didik Sanggar Ayodya Pala sering tampil di stasiun televisi Indosiar, Anteve, Trans TV dan Trans 7, juga diajak manggung di luar negeri.
Kontribusi Agustinah sungguh tak terkira bagi kemajuan seni dan budaya Indonesia. Dia konsisten melestarikan dan mengembangkan kesenian Indonesia. Ironisnya, seniman Depok merasa Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma'il kurang peduli pada lembaga yang mewadahi para seniman, yaitu Dewan Kesenian Depok. Sekretaris Umum DKD Nuning Darmadi mengatakan sejak Nur Mahmudi memimpin Kota Depok setahun lalu, hingga kini belum ada silaturahmi dengan para seniman setempat. Mereka membandingkannya dengan kepala daerah-kepala daerah terdahulu.
Depok mungkin hanya satu contoh. Tapi tulisan ini tidak menyoroti kebijakan Nur Mahmudi ataupun walikota dan bupati secara khusus. Tulisan ini lebih mengingatkan agar kita semua mencintai seni dan budaya Indonesia. Bahwa seorang kepala daerah perlu peduli pada seni budaya setempat, ya memang demikianlah seharusnya. Bahwa ada seniman yang kemudian protes atas ketidakpedulian kepala daerahnya, ya wajar saja.
Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke Shenzhen, China, melihat pertunjukan seni budaya China dari berbagai daerah. Ya, semacam Taman Mini Indonesia Indah-lah. Atau kalau di Sarawak, seperti Sarawak Cultural Village. Nah, di Shenzhen ini, biasanya tetamu diajak ke gedung kesenian yang mempertunjukkan seni budaya China yang luar biasa. Sehabis pertunjukan, para tamu yang datang berdecak kagum menyaksikan betapa indahnya kekayaan budaya China yang beragam itu. Pertunjukan dikerjakan sangat profesional.
Taman Mini Indonesia Indah? Nah, ini yang ingin saya sampaikan juga. Belum lama ini saya bertemu dengan General Manager TMII Bapak Sugiono, pensiunan jenderal bintang tiga di kantor TMII. Kita maklum, kondisi TMII sudah tidak seperti dulu lagi, ketika Pak Harto masih berkuasa atau Ibu Tien masih ada. Alhasil, TMII pun saat ini kondisinya pas-pasan. Bahwa banyak yang datang, ya iyalah. Tapi Pak Sugiono ingin mengubah citra TMII, bahwa TMII juga layak didatangi masyarakat menengah atas.
Artinya, TMII memang harus dibuat sedemikian rupa seperti Pusat Kesenian dan Kebudayaan Shenzhen di China yang mempertunjukkan aneka ragam kebudayaan China dari berbagai daerah, atau pun Sarawak Cultural Village di Malaysia Timur yang menampilkan aneka kebudayaan penduduk Malaysia. TMII memang sudah melakukan itu. Bedanya, di Shenzhen dan di Kuching, wisatawan asing berbondong-bondong datang, dan memberikan devisa kepada China dan Malaysia.
Di TMII? Pasti ada orang asing yang datang menikmati seni dan budaya Indonesia di TMII. Tapi tidak atau belum sebanyak di Shenzhen dan Kuching. Ini tantangan besar buat Pak Sugiono, bagaimana membuat TMII menjadi pusat pertunjukan seni budaya Indonesia.Bagaimana membuat orang asing yang datang ke Jakarta, merasa kurang afdol kalau belum datang ke TMII. Bagaimana membuat orang Indonesia sendiri mencintai seni budaya, dengan selalu menyaksikan pertunjukan seni ataupun pergelaran budaya di TMII.Tantangan kita semua, bagaimana generasi muda Indonesia bukan hanya menjadi generasi MTV tetapi generasi muda yang juga mencintai seni dan budaya Indonesia.
Oke-lah generasi MTV lahir sebagai dampak era globalisasi. Remaja Indonesia mahir ber R&B, tak ada yang bisa melarang. Tapi kalau si remaja juga pandai menari tarian daerah Indonesia? Waw, ini baru luar biasa. Beberapa tahun lalu ketika bertugas di Jawa Tengah, saya menemukan sejumlah buku berisi mutiara nilai kearifan budaya Jawa. Saya baca berkali-kali sampai hapal. Isinya sungguh luar biasa, semuanya tentang pelajaran kehidupan. Bagaimana dengan kearifan budaya daerah lainnya? Apakah masih ada yang peduli? Alangkah indahnya jika anak-anak Indonesia memahami nilai kearifan budaya lokal dan mempelajari aneka tari daerah Indonesia, bukan hanya kenal luar dalam ihwal Britney Spears, misalnya.
Salah satu cara, nilai-nilai kearifan budaya itu bisa saja ini dikemas lebih pop dan lebih gaul agar meresap di hati kaum muda Indonesia. Agar seni dan budaya Indonesia tetap dicintai generasi muda Indonesia, tidak luntur oleh gegap gempita budaya pop MTV.
Serpong, 22 Maret 2007
Comments