Kolom Blog Adhi Ksp: Budaya Melayani
Kolom Blog Adhi Ksp
Budaya Melayani
Budaya melayani sangat penting bagi perkembangan sebuah bangsa. Banyak korporat yang berusaha karyawannya memiliki budaya melayani. Ini artinya pimpinan korporat menginginkan semua karyawannya punya sikap, punya kebiasaan yang sudah ada dalam diri, budaya melayani. Tanpa disuruh pun, karyawan akan melayani pelanggannya dengan senang hati.
Sudahkah perusahaan di Indonesia memiliki budaya melayani? Apakah budaya melayani ini tidak berbenturan dengan budaya priyayi yang sudah lama ada dalam kehidupan bangsa ini?
Budaya melayani memang diperkenalkan oleh sebuah perusahaan dari Singapura, PT Service Quality Centre (SCQ), anak perusahaan maskapai penerbangan Singapore International Airlines (SIA). Direktur PT SQC Indonesia, Indra K Jusi mengatakan, memang pada awalnya, ketika dia memulai membangun perusahaan ini di Indonesia, bicara soal budaya melayani, tidak didengar banyak orang. Ngomong budaya melayani pada waktu itu (tahun 1991), malah ditertawakan orang. Tapi kini, menurut Indra, banyak korporat menginginkan perusahaan mereka tertular semangat budaya melayani.
PT SQC Indonesia, perusahaan yang hadir sejak tahun 1993, kini sudah menangani puluhan perusahaan lokal dan PMA dari berbagai jenis industri. PT SQC memberikan layanan pelatihan (mulai dari pola pikir layanan, keterampilan layanan, keterampilan kerja sama layanan, sampai keterampilanm layanan inovatif) dan layanan konsultasi (pengembangan fokus dan standar layanan).
Selain hadir di Indonesia dan Singapura, PT SQC juga ada di Malaysia dan China.Belum lama ini, PT SQC menandatangani distributrion agreement dengan UP Your Service! College (UYSC) pimpinan Ron Kaufman, seorang pendidik, pembicaea, penulis, master trainer dalam program pelatihan pengembangan budaya.
Ron Kaufman adalah pendiri UYSC. Dari daftar klien PT SQC, hampir semua bank nasional dan asing, asuransi nasional dan asing di Indonesia, menggunakan PT SQC untuk melatih dan memotivasi karyawan mereka menjadi perusahaan yang memiliki budaya melayani. Demikian juga perusahaan telekomunikasi, TI dan elektronik (dari Telkom, Telkomsel, Mobile-8 Telecom, Siemens Indonesia, Schneider Electric, Hewlett Packard, Indosat, Astra Graphia, sampai Metrodata), perusahaan otomotif, transportasi dan logistik (mulai Astra International Tbk, Blue Bird, Garuda Indonesia sampai DHL).
Juga perusahaan manufaktur dan distribusi (mulai HM Sampoerna, Unilever Indonesia, BAT, sampai Multi Bintang Indonesia), perusahaan ritel (mulai Hero, Sogo, Yogya sampai Matahari), perusahaan hospitality, perusahaan bergerak di bidang kesehatan dan lainnya. Jumlahnya lebih dari 100, dan rata-rata perusahaan terkemuka di Indonesia.
Apa artinya ini semua? Artinya, korporat di Indonesia sudah menyadari betapa pentingnya arti budaya melayani. Mengapa maskapai Singapura yang dikenal dengan nama SQ dikenal sebagai maskapai tepat waktu dan layanan prima? Indra menyebutkan pelatihan yang diterima calon awak pesawat selama ini, telah menunjukkan hasilnya.
Saya tanyakan pada Indra, apakah budaya priyayi yang selama ini melekat pada kultur masyarakat Indonesia, menjadi kendala? Indra mengatakan pada awalnya memang sulit bicara soal budaya melayani dalam masyarakat Indonesia.
Namun kini, PT SQC memanfaatkan apa yang dinamakan budaya priyayi itu agar budaya melayani mendapat power yang kuat. Indra menyebutnya budaya paternalistik. Mengapa budaya paternalistik ini tidak dimanfaatkan saja agar pemimpin menularkan teladan sebagai pemimpin yang melayani?
Alhasil, masyarakat Indonesia secara perlahan tapi pasti diharapkan memahami pentingnya budaya melayani. Salah satu contoh yang mungkin dianggap berhasil adalah Bluebird. Perusahaan taksi dan bus pariwisata ini menjadi salah satu ikon perusahaan taksi yang pelayanannya prima.
Singapura pada tahun 1980-an masih belum terlalu peduli dengan budaya melayani. Namun kini para pemimpin negara itulah yang menjadi teladan pentingnya budaya melayani, yang kemudian diikuti segenap penduduk negeri itu.
Indonesia? Apakah budaya melayani sudah merasuk di segenap hati? Saya kira belum. Ada tapi jumlahnya relatif sedikit. Indra menyebutkan saat ini masih banyak karyawan swasta dan pegawai negeri yang bekerja sesuai standar. Istilahnya, nine to five, masuk pukul sembilan pagi, pulang pukul lima sore. Bekerja ya sesuai standar saja. Istilah yang sangat populer, Pergi Pagi Pulang Petang Pendapatan Pas-pasan. Mungkin juga ada korelasi antara pendapatan dan semangat budaya melayani.
Tetapi kata Indra, sebetulnya yang ingin SQC capai adalah membuat suasana di kantor secara internal menjadi suasana menyenangkan. Kalau suasana internal menyenangkan, suasana eksternal dengan sendirinya akan terbawa otomatis. Ini akan membuat budaya melayani dalam korporat itu menjadi semacam roh yang menghidupkan perusahaan.
Dari boot camp-nya di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, PT SQC Indonesia berupaya agar budaya melayani terus ditularkan dan menjadi darah daging masyarakat Indonesia. Berapa tahun lagi, berapa generasi lagi, hasilnya terlihat? Ya, kita tunggu saja.
Serpong, 4 April 2007
Budaya Melayani
Budaya melayani sangat penting bagi perkembangan sebuah bangsa. Banyak korporat yang berusaha karyawannya memiliki budaya melayani. Ini artinya pimpinan korporat menginginkan semua karyawannya punya sikap, punya kebiasaan yang sudah ada dalam diri, budaya melayani. Tanpa disuruh pun, karyawan akan melayani pelanggannya dengan senang hati.
Sudahkah perusahaan di Indonesia memiliki budaya melayani? Apakah budaya melayani ini tidak berbenturan dengan budaya priyayi yang sudah lama ada dalam kehidupan bangsa ini?
Budaya melayani memang diperkenalkan oleh sebuah perusahaan dari Singapura, PT Service Quality Centre (SCQ), anak perusahaan maskapai penerbangan Singapore International Airlines (SIA). Direktur PT SQC Indonesia, Indra K Jusi mengatakan, memang pada awalnya, ketika dia memulai membangun perusahaan ini di Indonesia, bicara soal budaya melayani, tidak didengar banyak orang. Ngomong budaya melayani pada waktu itu (tahun 1991), malah ditertawakan orang. Tapi kini, menurut Indra, banyak korporat menginginkan perusahaan mereka tertular semangat budaya melayani.
PT SQC Indonesia, perusahaan yang hadir sejak tahun 1993, kini sudah menangani puluhan perusahaan lokal dan PMA dari berbagai jenis industri. PT SQC memberikan layanan pelatihan (mulai dari pola pikir layanan, keterampilan layanan, keterampilan kerja sama layanan, sampai keterampilanm layanan inovatif) dan layanan konsultasi (pengembangan fokus dan standar layanan).
Selain hadir di Indonesia dan Singapura, PT SQC juga ada di Malaysia dan China.Belum lama ini, PT SQC menandatangani distributrion agreement dengan UP Your Service! College (UYSC) pimpinan Ron Kaufman, seorang pendidik, pembicaea, penulis, master trainer dalam program pelatihan pengembangan budaya.
Ron Kaufman adalah pendiri UYSC. Dari daftar klien PT SQC, hampir semua bank nasional dan asing, asuransi nasional dan asing di Indonesia, menggunakan PT SQC untuk melatih dan memotivasi karyawan mereka menjadi perusahaan yang memiliki budaya melayani. Demikian juga perusahaan telekomunikasi, TI dan elektronik (dari Telkom, Telkomsel, Mobile-8 Telecom, Siemens Indonesia, Schneider Electric, Hewlett Packard, Indosat, Astra Graphia, sampai Metrodata), perusahaan otomotif, transportasi dan logistik (mulai Astra International Tbk, Blue Bird, Garuda Indonesia sampai DHL).
Juga perusahaan manufaktur dan distribusi (mulai HM Sampoerna, Unilever Indonesia, BAT, sampai Multi Bintang Indonesia), perusahaan ritel (mulai Hero, Sogo, Yogya sampai Matahari), perusahaan hospitality, perusahaan bergerak di bidang kesehatan dan lainnya. Jumlahnya lebih dari 100, dan rata-rata perusahaan terkemuka di Indonesia.
Apa artinya ini semua? Artinya, korporat di Indonesia sudah menyadari betapa pentingnya arti budaya melayani. Mengapa maskapai Singapura yang dikenal dengan nama SQ dikenal sebagai maskapai tepat waktu dan layanan prima? Indra menyebutkan pelatihan yang diterima calon awak pesawat selama ini, telah menunjukkan hasilnya.
Saya tanyakan pada Indra, apakah budaya priyayi yang selama ini melekat pada kultur masyarakat Indonesia, menjadi kendala? Indra mengatakan pada awalnya memang sulit bicara soal budaya melayani dalam masyarakat Indonesia.
Namun kini, PT SQC memanfaatkan apa yang dinamakan budaya priyayi itu agar budaya melayani mendapat power yang kuat. Indra menyebutnya budaya paternalistik. Mengapa budaya paternalistik ini tidak dimanfaatkan saja agar pemimpin menularkan teladan sebagai pemimpin yang melayani?
Alhasil, masyarakat Indonesia secara perlahan tapi pasti diharapkan memahami pentingnya budaya melayani. Salah satu contoh yang mungkin dianggap berhasil adalah Bluebird. Perusahaan taksi dan bus pariwisata ini menjadi salah satu ikon perusahaan taksi yang pelayanannya prima.
Singapura pada tahun 1980-an masih belum terlalu peduli dengan budaya melayani. Namun kini para pemimpin negara itulah yang menjadi teladan pentingnya budaya melayani, yang kemudian diikuti segenap penduduk negeri itu.
Indonesia? Apakah budaya melayani sudah merasuk di segenap hati? Saya kira belum. Ada tapi jumlahnya relatif sedikit. Indra menyebutkan saat ini masih banyak karyawan swasta dan pegawai negeri yang bekerja sesuai standar. Istilahnya, nine to five, masuk pukul sembilan pagi, pulang pukul lima sore. Bekerja ya sesuai standar saja. Istilah yang sangat populer, Pergi Pagi Pulang Petang Pendapatan Pas-pasan. Mungkin juga ada korelasi antara pendapatan dan semangat budaya melayani.
Tetapi kata Indra, sebetulnya yang ingin SQC capai adalah membuat suasana di kantor secara internal menjadi suasana menyenangkan. Kalau suasana internal menyenangkan, suasana eksternal dengan sendirinya akan terbawa otomatis. Ini akan membuat budaya melayani dalam korporat itu menjadi semacam roh yang menghidupkan perusahaan.
Dari boot camp-nya di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, PT SQC Indonesia berupaya agar budaya melayani terus ditularkan dan menjadi darah daging masyarakat Indonesia. Berapa tahun lagi, berapa generasi lagi, hasilnya terlihat? Ya, kita tunggu saja.
Serpong, 4 April 2007
Comments