Denyut Jakarta Saat Dinihari dan Mengasah Kepekaan Sosial
Denyut Jakarta Saat Dinihari dan Mengasah Kepekaan Sosial
MEREKAM denyut Jakarta saat dinihari selama dua pekan terakhir ini, merupakan pengalaman berkesan. Bekerja pada saat sebagian besar orang terlelap tidur, saya menemukan dunia yang selalu hidup pada tengah malam hingga menjelang matahari terbit. Dalam blog ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman bagaimana Jakarta tetap berdenyut lewat tengah malam hingga menjelang orang berangkat kerja di pagi hari.
Keliling Jakarta selepas tengah malam, sungguh menyenangkan karena tak ada kemacetan, tak ada kesemrawutan seperti yang biasa terjadi pada pagi hingga malam hari. Tapi tidak semua kehidupan di Jakarta mati. Pada sudut-sudut tertentu, Jakarta tetap berdenyut. Pada titik-titik tertentu, ada bagian dari Jakarta yang tetap macet.Anda tahu Pasar Induk Kramatjati di Jakarta Timur kan? Kehidupan pasar selepas tengah malam hingga menjelang pagi, dapat dilihat dari kemacetan lalu lintas akibat banyak mikrolet yang ngetem berjam-jam di sana, menunggu penumpang.
Jadi siapa bilang, Jakarta pasti lengang? Para pedagang warung dan pedagang eceran membeli bahan baku dari pasar induk ini. Kebetulan saat saya (bersama fotografer Kompas, Lasti Kurnia) mendatangi Pasar Induk Kramatjati pertengahan Februari lalu, cuaca buruk masih melanda perairan laut Jawa. Harga ikan dan binatang laut lainnya melambung tinggi. Pedagang kesulitan mendapatkan ikan dari Muara Baru, Jakarta Utara.
Pada hari lainnya kami mendatangi Rumah Potong Hewan (RPH) Pulogadung di Jalan Palad. Didatangi pada dinihari, petugas RPH tentu kaget. Tapi kami melanjutkan isu menghilangnya daging sapi akibat pemogokan yang dilakukan pedagang daging sapi selama tiga hari. Ketika kami datang, bau menyengat dari kandang ayam di samping RPH. Kegiatan pemotongan masih ada tapi terbatas pada kambing. Lalu di mana sapi-sapi itu? Ternyata tiga hari terakhir, betul-betul tak ada aktivitas pemotongan sapi di RPH. Namun belasan sapi dari Australia baru saja tiba di RPH Pulogadung.
Di hari lainnya, kami mendatangi Pasar Grosir Bunga Rawabelong di Jakarta Barat. Aktivitas transaksi bunga terbesar di Jakarta ada di sini. Persoalan yang dihadapi pedagang bunga mawar saat itu adalah pasokan mawar dari Malang, Jawa Timur terganggu akibat cuaca buruk. Selain itu lalu lintas di pantura Jawa juga terganggu banjir.
Dalam perjalanan pada pekan berikutnya, saya bersama fotografer Priyombodo juga berkeliling Jakarta. Mungkin orang tidak tahu pada sebuah sudut di Jakarta Timur, persisnya di Kampung Melayu, lebih dari seribu rumah di kawasan padat penduduk yang dekat dengan Kali Ciliwung, terendam banjir kiriman hingga tiga meter. Peristiwa itu terjadi saat banyak warga Jakarta lainnya terlelap. Namun mereka yang rumahnya terendam banjir ini agaknya sudah terbiasa menghadapi bencana banjir seperti ini.
Mereka mengaku punya keinginan pindah dari kawasan itu tetapi tak punya dana. Kalaupun pindah, pasti lokasinya jauh dari ingar-bingar Jakarta. Mereka memilih bertahan hidup di dekat bantaran Kali Ciliwung, dengan risiko jika banjir kiriman dari Bogor dan Depok tiba, mereka merelakan rumah mereka terendam. Menarik juga bagaimana mereka bisa akrab hidup dengan banjir. Dan warga setempat selalu memantau ketinggian air di Bendung Katulampa Bogor. Sebab jika ketinggian air melampaui batas normal, mereka harus bersiap-siap sebab enam jam setelah itu, banjir kiriman akan datang.
Pada hari lainnya, kami mendatangi Pasar Senen di Jakarta Pusat, dan melihat aktivitas pasar kue subuh di sana. Kami merekam keluhan para pedagang kue, yang terguncang akibat kenaikan harga bahan baku seperti terigu, telor, ayam, beras ketan, plastik pembungkus dan sebagainya. Mereka mengaku tetap bertahan berdagang namun ibaratnya hanya mencari sepiring nasi. Tak ada lagi keuntungan yang dapat mereka peroleh karena menaikkan harga jual lebih tinggi akan menyebabkan pembeli berkurang. Dan itulah yang terjadi pada pedagang kue tersebut.
Pada dinihari berikutnya kami mendatangi kawasan Kemang di Jakarta Selatan. Jallan rusak berlubang di depan KFC memang menganggu citra Kemang sebagai ikon wisata Jaksel. Sudah lebih dari sebulan, kerusakan jalan itu dibiarkan. Aneh juga, kok pemerintah seolah tak peduli padahal mereka sudah memperoleh pemasukan pajak dari kafe, hotel, resto di Kemang.
Dan esensi paling penting adalah citra Kemang tercoreng. Lokasi jalan berlubang itu taj jauh dari akses masuk ke Kemang dari Prapanca. Mau tak mau, orang yang akan ke Kemang pasti lewat jalan itu. Apa kata orang asing jika melihat jalan rusak di Kemang dibiarkan berlarut-larut? Pengelola kafe, resto, toko, hotel pasti kecewa karena mereka sudah membayar pajak, tapi jalan tetap dibiarkan rusak.
Satu pengalaman meliput peristiwa pada dinihari di Jakarta adalah ketika terjadi kebakaran di dekat permukiman elit Permata Hijau. Kebakaran itu sendiri kecil, tetapi yang menarik, petugas pemadam mengambil air dari kolam renang pengusaha Rosano Barack di Jalan Jamrud, Permata Hijau, Jakarta Selatan. Sebab jika itu tidak dilakukan, hampir dipastikan rumah mewah Rosano bakal dijilat api. Setidaknya ini diungkap petugas pemadam kebakaran dan petugas sekuriti rumah Rosano. Kebakaran itu menimpa rumah-rumah padat di balik tembok rumah Rosano.
Denyut Jakarta pada dinihari juga terekam di pub dan diskotek di Jakarta Kota. Penjual obat kuat viagra dan kondom masih melek dan menawarkan pengendara yang melintasi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Di dalam diskotek, denyut Jakarta juga terasa meledak-ledak. Perempuan menawarkan diri di dalam diskotek maupun di jalan kepada lelaki hidung belang. Taksi berderet-deret menunggu penumpang pulang dari diskotek yang tetap buka hingga dinihari. Ternyata cukup banyak yang "mencari makan" pada saat dinihari.
Jakarta sebagai metropolitan tetap berdenyut selepas tengah malam hingga menjelang matahari terbit. Kehidupan pada sepotong waktu itulah yang dicari Kompas yang menerbitkan Kompas Update sejak dua bulan terakhir ini. Halaman depan dan halaman 15 Kompas update berisi berita-berita yang terjadi dan diliput sejak selepas tengah tengah malam hingga pukul 07.00-08.00 pagi. Kompas update terbit tengah hari dan dijual dengan harga Rp 1.000 per eksemplar. Berita-berita sepak bola yang berakhir dinihari dan peristiwa di mancanegara menarik untuk dijual di Kompas update selain peristiwa di Jakarta Raya.
Tren surat kabar terbit pada tengah hari-sore hari sebetulnya sudah dilakukan di luar negeri. Di Jepang misalnya, The Nishinippon Shimbun yang pada edisi paginya beroplah 800.000-an eksemplar, menerbit edisi sorenya dengan oplah 181.000-an eksemplar. Sedangkan edisi khusus olahraga terbit dengan oplah 200.000-an eksemplar setiap hari.
Mengasah kepekaan sosial
Mengapa saya tetap menikmati perjalanan menjelajahi Jakarta pada dinihari, merekam denyut Jakarta, melihat kehidupan lain di metropolitan Jakarta selepas tengah malam hingga menjelang pagi? Setidak-tidaknya, sebagai jurnalis, saya tetap dapat mengasah kepekaan sosial dengan melihat banyak problem perkotaan di Jakarta. Dan ini sangat penting karena jurnalis berperan mengungkap problem itu ke surat kabar.
Memahami kehidupan rakyat kebanyakan dengan turun langsung ke lapangan, memang sangat penting dilakukan oleh jurnalis. Bahkan oleh jurnalis yang sudah belasan tahun bekerja seperti saya sekalipun. Ketika menikmati kehidupan malam di pub sambil meneguk wine misalnya, saya makin memahami seluk-beluk dunia ini lebih detil.
Atau ketika menikmati lemper atau kue soes, saya langsung teringat nasib pembuat dan pedagang kue subuh di Pasar Senen yang kehidupan mereka kian terengah-engah. Ketika menikmati rendang di warung nasi padang, saya juga teringat bagaimana pedagang warung kecil itu mengandalkan daging sapi sebagai jualan utama mereka. Saya ingat betapa penjagal di RPH sangat mengandalkan rupiah dari sapi-sapi yang dijagal.
Atau ketika melintasi perumahan elit Permata Hijau, saya ingat di balik tembok rumah-rumah mewah itu, banyak warga yang tinggal di perkampungan padat. Dan juga saat saya tertidur lelap di rumah dengan kenyamanan, saya teringat di sudut lain di Jakarta ini, ada warga yang sedang mengalami kesusahan, rumah mereka kebanjiran, seperti yang menimpa masyarakat Kampung Melayu saat banjir kiriman tiba.
Mengasah kepekaan sosial sangatlah penting bagi jurnalis. Dan itu akan tetap saya lakukan karena dengan melihat realita kehidupan sesungguhnya itulah, saya tetap menjadi seorang jurnalis yang peka dan peduli pada orang lain.
Serpong, 1 Maret 2008
MEREKAM denyut Jakarta saat dinihari selama dua pekan terakhir ini, merupakan pengalaman berkesan. Bekerja pada saat sebagian besar orang terlelap tidur, saya menemukan dunia yang selalu hidup pada tengah malam hingga menjelang matahari terbit. Dalam blog ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman bagaimana Jakarta tetap berdenyut lewat tengah malam hingga menjelang orang berangkat kerja di pagi hari.
Keliling Jakarta selepas tengah malam, sungguh menyenangkan karena tak ada kemacetan, tak ada kesemrawutan seperti yang biasa terjadi pada pagi hingga malam hari. Tapi tidak semua kehidupan di Jakarta mati. Pada sudut-sudut tertentu, Jakarta tetap berdenyut. Pada titik-titik tertentu, ada bagian dari Jakarta yang tetap macet.Anda tahu Pasar Induk Kramatjati di Jakarta Timur kan? Kehidupan pasar selepas tengah malam hingga menjelang pagi, dapat dilihat dari kemacetan lalu lintas akibat banyak mikrolet yang ngetem berjam-jam di sana, menunggu penumpang.
Jadi siapa bilang, Jakarta pasti lengang? Para pedagang warung dan pedagang eceran membeli bahan baku dari pasar induk ini. Kebetulan saat saya (bersama fotografer Kompas, Lasti Kurnia) mendatangi Pasar Induk Kramatjati pertengahan Februari lalu, cuaca buruk masih melanda perairan laut Jawa. Harga ikan dan binatang laut lainnya melambung tinggi. Pedagang kesulitan mendapatkan ikan dari Muara Baru, Jakarta Utara.
Pada hari lainnya kami mendatangi Rumah Potong Hewan (RPH) Pulogadung di Jalan Palad. Didatangi pada dinihari, petugas RPH tentu kaget. Tapi kami melanjutkan isu menghilangnya daging sapi akibat pemogokan yang dilakukan pedagang daging sapi selama tiga hari. Ketika kami datang, bau menyengat dari kandang ayam di samping RPH. Kegiatan pemotongan masih ada tapi terbatas pada kambing. Lalu di mana sapi-sapi itu? Ternyata tiga hari terakhir, betul-betul tak ada aktivitas pemotongan sapi di RPH. Namun belasan sapi dari Australia baru saja tiba di RPH Pulogadung.
Di hari lainnya, kami mendatangi Pasar Grosir Bunga Rawabelong di Jakarta Barat. Aktivitas transaksi bunga terbesar di Jakarta ada di sini. Persoalan yang dihadapi pedagang bunga mawar saat itu adalah pasokan mawar dari Malang, Jawa Timur terganggu akibat cuaca buruk. Selain itu lalu lintas di pantura Jawa juga terganggu banjir.
Dalam perjalanan pada pekan berikutnya, saya bersama fotografer Priyombodo juga berkeliling Jakarta. Mungkin orang tidak tahu pada sebuah sudut di Jakarta Timur, persisnya di Kampung Melayu, lebih dari seribu rumah di kawasan padat penduduk yang dekat dengan Kali Ciliwung, terendam banjir kiriman hingga tiga meter. Peristiwa itu terjadi saat banyak warga Jakarta lainnya terlelap. Namun mereka yang rumahnya terendam banjir ini agaknya sudah terbiasa menghadapi bencana banjir seperti ini.
Mereka mengaku punya keinginan pindah dari kawasan itu tetapi tak punya dana. Kalaupun pindah, pasti lokasinya jauh dari ingar-bingar Jakarta. Mereka memilih bertahan hidup di dekat bantaran Kali Ciliwung, dengan risiko jika banjir kiriman dari Bogor dan Depok tiba, mereka merelakan rumah mereka terendam. Menarik juga bagaimana mereka bisa akrab hidup dengan banjir. Dan warga setempat selalu memantau ketinggian air di Bendung Katulampa Bogor. Sebab jika ketinggian air melampaui batas normal, mereka harus bersiap-siap sebab enam jam setelah itu, banjir kiriman akan datang.
Pada hari lainnya, kami mendatangi Pasar Senen di Jakarta Pusat, dan melihat aktivitas pasar kue subuh di sana. Kami merekam keluhan para pedagang kue, yang terguncang akibat kenaikan harga bahan baku seperti terigu, telor, ayam, beras ketan, plastik pembungkus dan sebagainya. Mereka mengaku tetap bertahan berdagang namun ibaratnya hanya mencari sepiring nasi. Tak ada lagi keuntungan yang dapat mereka peroleh karena menaikkan harga jual lebih tinggi akan menyebabkan pembeli berkurang. Dan itulah yang terjadi pada pedagang kue tersebut.
Pada dinihari berikutnya kami mendatangi kawasan Kemang di Jakarta Selatan. Jallan rusak berlubang di depan KFC memang menganggu citra Kemang sebagai ikon wisata Jaksel. Sudah lebih dari sebulan, kerusakan jalan itu dibiarkan. Aneh juga, kok pemerintah seolah tak peduli padahal mereka sudah memperoleh pemasukan pajak dari kafe, hotel, resto di Kemang.
Dan esensi paling penting adalah citra Kemang tercoreng. Lokasi jalan berlubang itu taj jauh dari akses masuk ke Kemang dari Prapanca. Mau tak mau, orang yang akan ke Kemang pasti lewat jalan itu. Apa kata orang asing jika melihat jalan rusak di Kemang dibiarkan berlarut-larut? Pengelola kafe, resto, toko, hotel pasti kecewa karena mereka sudah membayar pajak, tapi jalan tetap dibiarkan rusak.
Satu pengalaman meliput peristiwa pada dinihari di Jakarta adalah ketika terjadi kebakaran di dekat permukiman elit Permata Hijau. Kebakaran itu sendiri kecil, tetapi yang menarik, petugas pemadam mengambil air dari kolam renang pengusaha Rosano Barack di Jalan Jamrud, Permata Hijau, Jakarta Selatan. Sebab jika itu tidak dilakukan, hampir dipastikan rumah mewah Rosano bakal dijilat api. Setidaknya ini diungkap petugas pemadam kebakaran dan petugas sekuriti rumah Rosano. Kebakaran itu menimpa rumah-rumah padat di balik tembok rumah Rosano.
Denyut Jakarta pada dinihari juga terekam di pub dan diskotek di Jakarta Kota. Penjual obat kuat viagra dan kondom masih melek dan menawarkan pengendara yang melintasi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Di dalam diskotek, denyut Jakarta juga terasa meledak-ledak. Perempuan menawarkan diri di dalam diskotek maupun di jalan kepada lelaki hidung belang. Taksi berderet-deret menunggu penumpang pulang dari diskotek yang tetap buka hingga dinihari. Ternyata cukup banyak yang "mencari makan" pada saat dinihari.
Jakarta sebagai metropolitan tetap berdenyut selepas tengah malam hingga menjelang matahari terbit. Kehidupan pada sepotong waktu itulah yang dicari Kompas yang menerbitkan Kompas Update sejak dua bulan terakhir ini. Halaman depan dan halaman 15 Kompas update berisi berita-berita yang terjadi dan diliput sejak selepas tengah tengah malam hingga pukul 07.00-08.00 pagi. Kompas update terbit tengah hari dan dijual dengan harga Rp 1.000 per eksemplar. Berita-berita sepak bola yang berakhir dinihari dan peristiwa di mancanegara menarik untuk dijual di Kompas update selain peristiwa di Jakarta Raya.
Tren surat kabar terbit pada tengah hari-sore hari sebetulnya sudah dilakukan di luar negeri. Di Jepang misalnya, The Nishinippon Shimbun yang pada edisi paginya beroplah 800.000-an eksemplar, menerbit edisi sorenya dengan oplah 181.000-an eksemplar. Sedangkan edisi khusus olahraga terbit dengan oplah 200.000-an eksemplar setiap hari.
Mengasah kepekaan sosial
Mengapa saya tetap menikmati perjalanan menjelajahi Jakarta pada dinihari, merekam denyut Jakarta, melihat kehidupan lain di metropolitan Jakarta selepas tengah malam hingga menjelang pagi? Setidak-tidaknya, sebagai jurnalis, saya tetap dapat mengasah kepekaan sosial dengan melihat banyak problem perkotaan di Jakarta. Dan ini sangat penting karena jurnalis berperan mengungkap problem itu ke surat kabar.
Memahami kehidupan rakyat kebanyakan dengan turun langsung ke lapangan, memang sangat penting dilakukan oleh jurnalis. Bahkan oleh jurnalis yang sudah belasan tahun bekerja seperti saya sekalipun. Ketika menikmati kehidupan malam di pub sambil meneguk wine misalnya, saya makin memahami seluk-beluk dunia ini lebih detil.
Atau ketika menikmati lemper atau kue soes, saya langsung teringat nasib pembuat dan pedagang kue subuh di Pasar Senen yang kehidupan mereka kian terengah-engah. Ketika menikmati rendang di warung nasi padang, saya juga teringat bagaimana pedagang warung kecil itu mengandalkan daging sapi sebagai jualan utama mereka. Saya ingat betapa penjagal di RPH sangat mengandalkan rupiah dari sapi-sapi yang dijagal.
Atau ketika melintasi perumahan elit Permata Hijau, saya ingat di balik tembok rumah-rumah mewah itu, banyak warga yang tinggal di perkampungan padat. Dan juga saat saya tertidur lelap di rumah dengan kenyamanan, saya teringat di sudut lain di Jakarta ini, ada warga yang sedang mengalami kesusahan, rumah mereka kebanjiran, seperti yang menimpa masyarakat Kampung Melayu saat banjir kiriman tiba.
Mengasah kepekaan sosial sangatlah penting bagi jurnalis. Dan itu akan tetap saya lakukan karena dengan melihat realita kehidupan sesungguhnya itulah, saya tetap menjadi seorang jurnalis yang peka dan peduli pada orang lain.
Serpong, 1 Maret 2008
Comments
www.jktlinks.com
Free to make a link on our page this month!!!
You don’t have a site yet…we make it.
We offer complete package for great prices.
Best regards.
Jeffrey & Feggy
Managing Director
Jakarta links
Webshop: http://webshop.jakartalinks.com