Tiga Undang-Undang Ancam Kebebasan Pers

Tiga Undang-Undang Ancam Kebebasan Pers

SELAMA tiga hari (Selasa 6 Mei-Kamis 8 Mei), saya mendapat tugas dari kantor tempat saya bekerja, untuk mengikuti Lokakarya Kode Etik Jurnalistik bagi Praktisi Media sebagai peserta. Lokakarya tiga hari ini digelar oleh Lembaga Pers Dr Soetomo bekerja sama dengan Dewan Pers.

Pada hari pertama, peserta mendapat paparan soal "Masalah Hak Jawab dan Hak Koreksi Publik dan Hak Tolak Wartawan" dari pembicara tamu Susanto Pudjomartono (mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post dan Majalah Tempo, dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia) dan pengajar sekaligus moderator Wina Armada Sukardi.

Dalam sesi ini, dijelaskan soal arti Hak Jawab dan Hak Koreksi menurut UU Pers dan kelaziman dalam pekerjaan pers. Ada keinginan pemerintah untuk merevisi UU Pers agar Hak Jawab diatur pemerintah. Hak Tolak hanya untuk melindungi narasumber anonim dan informasi yang tidak ingin dipublikasikan. Namun wartawan tetap memenuhi panggilan penegak hukum untuk dimintai keterangan.

Pada sesi berikutnya, dipaparkan soal Kode Perilaku (Code of Conduct) dalam Media Pers, yang disampaikan Lukas Luwarso (Sekretaris Eksekutif Dewan Pers), Pius Pope (pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo) dan RH Priyambodo (dari Kantor Berita Antara, terkait Cyber Journalism). Dijelaskan ihwal kode perilaku yang umum berlaku di kalangan pers cetak, media online, radio, televisi, baik di Indonesia maupun di pers internasional.

Pada sesi ketiga, filsuf Franz Magnis Suseno menegaskan perlunya memahami etika profesi dalam jurnalistik dan mengungkapkan sejumlah prinsip filsafat etika untuk diterapkan dalam jurnalisme sehingga ketika menghadapi persoalan aktual dilema etika, jurnalis sudah memahaminya.

Paa hari kedua, wartawan senior Tribuana Said (mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka) dan Don Bosco Selamun (mantan Wapemred Metro TV dan SCTV, sekarang Komioner Komisi Penyiaran Indonesia) mengungkapkan pengaruh "amplop" terhadap independensi wartawan dan pers. Ada 15 jenis "amplop" dalam kehidupan wartawan mulai dari "uang transpor" pada konferensi pers sampai fasilitas dalam undangan pejabat negara. Dijelaskan pula pernyataan Dewan Pers tentang upaya mengatasi penyalahgunaan profesi wartawan termasuk soal "amplop" ini.

Pada sesi kedua, pengajar LPDS Atmakusumah Astraatmadja dan novelis Ayu Utami membahas etika pemberitaan yang menyangkut privasi, pencemaran nama baik dan perlindungan etika pers bagi pelaku tindak pidana kanak-kanak. Dijelaskan soal ukuran tingkat privasi, bagaimana membedakan "publik ingin mengetahui" (public wants to know) dan "publik perlu mengetahui" (public needs to know). Diungkapkan pula kritik Komnas HAM dan LBH terhadap contoh liputan yang tidak etis oleh pers.

Pada hari ketiga lokakarya, Atmakusumah menjelaskan soal kebebasan pers, pandangan hukum dan kode etik jurnalistik dengan memberi contoh kasus-kasus Soeharto vs TIME, kasus Tommy Soeharto vs Gatra, kasus Anif vs Harian Garuda, kasus Gus Dur-Aryanti Sitepu, dan kasus Gary Hart (calon Presiden Amerika Serikat yang terungkap perselingkuhannya dengan Donna Rice oleh The Miami Herald). Pengacara Amir Syamsuddin melengkapi dengan sorotan sisi hukum.

Pada sesi terakhir, Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dan wartawan senior Sinansari Ecip menjelaskan kasus-kasus pengaduan publik tentang pemberitaan ke Dewan Pers. Ada 1.500-an pengaduan publik soal pemberitaan yang dianggap merugikan, yang disampaikan ke Dewan Pers sejak awal reformasi lalu.

Tiga Undang-Undang Ancam Kebebasan Pers
Salah satu catatan penting dari lokakarya ini adalah para peserta diingatkan bahwa ada tiga Undang-Undang yang saat ini mengancam kebebasan pers Indonesia. Pertama,
Undang-undang Pemilu. UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Pasal 97 disebutkan bahwa media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta Pemilu.

Menurut Leo Batubara, definisi ”adil dan berimbang” itu sangat interpretatif. Pers tidak dapat memberitakan semua partai politik dengan porsi sama. Dalam pemberitaan, pers tunduk pada nilai berita, seperti menarik atau tingkat manfaatnya bagi publik. Media massa harus independen dalam pemberitaan dengan mengacu kepada kaidah dan etika jurnalistik. Jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah dan etika jurnalistik, proses hukumnya harus mengacu kepada UU Pers, bukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau UU Pemilu Legislatif.

(Secara guyon, Leo Batubara mengatakan jika UU ini diterapkan, bisa jadi "korban" pertama adalah surat kabar "Suara Karya" yang juga perpanjangan tangan Partai Golkar).

UU lainnya yang juga mengancam kebebasan pers adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) No 11 Tahun 2008. Dua pakar pers, Leo Batubara dan Atmakusumah mengingatkan kalangan pers soal ancaman ini. Dikhawatirkan, UU ITE ini merupakan upaya pemerintah mengontrol pers. Sebab saat ini hampir media massa cetak kini memiliki media online.

Ancaman tersebut terdapat dalam pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ancaman lainnya ada pada pasal 28 ayat (2) tentang kesengajaan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp 1 miliar.

UU lainnya yang juga mengancam kebebasan pers adalah UU Keterbukaan Informasi Publik atau KIP. Pasal 51 UU KIP menyatakan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 juta. Baca juga catatan kritis tentang UU KIP ini.

Para peserta lokakarya dingatkan bahwa persoalan yang dihadapi jurnalis seharusnya mengacu pada UU Pers No 40 Tahun 1999. Dalam UU ini, pers yang mengontrol pemerintah, dan pemerintah tidak berwenang mengintervensi penyelenggaraan pers. Tidak ada peraturan pemerintah dan peraturan Menteri dalam penyelenggaraan pers. Regulasi penyelenggaraan pers disusun oleh, dari dan untuk komunitas.

UU Pers No 40 Tahun 1999 juga menegaskan politik hukum yang dianut dekriminalisasi pers. Kesalahan jurnalistik diselesaikan dengan Hak Jawab, dan bila belum memuaskan, diproses dalam perkara dengan denda proporsional. Sedangkan Dewan Pers independen, antara lain untuk menjaga kemerdekaan pers dan untuk memfasilitasi penyusunan regulasi pers, serta memberi pertimbangan dan menyelesaikan pengaduan masyarakat.

Leo Batubara, Atmakusumah dan Tribuana Said tak henti-hentinya mengingatkan peserta lokakarya ihwal tiga undang-undang baru yang mengancam kebebasan pers itu. Nah, apakah kalangan pers sudah menyadari hal ini?

Serpong, 12 Mei 2008

Comments

Popular posts from this blog

Kolom Blog Adhi Ksp: Paris van Java dan Wawa Sulaeman yang Fenomenal

Kolom Blog Adhi Ksp: Starbucks, Kopi Luwak, dan J.Co

Hiburan Rakyat Menjelang Kenaikan BBM