Nelayan Bayah, Lebak


Nelayan Bayah, Lebak


BAYAH adalah nama kota kecamatan di Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Lokasinya sekitar 237 km dari Jakarta. Untuk menuju ke Bayah, Anda bisa lewat Rangkasbitung-Malingping dengan kondisi sebagian jalan bopeng-bopeng, atau bisa Pandeglang-Malingping dengan jarak tempuh lebih jauh. Namun kondisi jalan antara Malingping-Bayah sudah beraspal hotmix dan mulus.


Karena Bayah adalah kota kecamatan di pantai selatan Banten, sebagian warganya bermata pencaharian nelayan. Mereka umumnya buruh nelayan, yang setiap hari mengandalkan hidup sehari-hari dari laut. Mereka naik perahu motor, berangkat sore hari, kembali pukul 08.00 pagi. Sebagian lagi menjadi penjual ikan keliling ke rumah-rumah. Satu ikat ikan layur biasanya terdiri dari 10 ekor, dibeli dari TPI Bayah sekitar Rp 20.000, dan dijual lagi dengan harga Rp 25.000.

Nelayan Bayah cenderung konsumtif. Begitu mendapat banyak uang pada musim panen ikan seperti bulan-bulan ini, mereka langsung membeli perhiasan emas dan peralatan elektronik di kota kecamatan ini. Pola hidup konsumtif ini sebetulnya bukan ciri khusus nelayan Bayah, tetapi umumnya terjadi pula pada nelayan di berbagai daerah lain di Indonesia. Bahkan bukan hanya terjadi pada nelayan, tetapi juga pada petani di desa-desa. Karena itu, tidaklah heran jika di dekat TPI dan di kota kecamatan, selalu ada toko emas.

Pada musim paceklik, para nelayan Bayah menjual kembali perhiasan emas kepada pemilik toko. Dan itu sangat biasa terjadi. Seperti gali lubang tutup lubang. Dapat duit banyak, dibelikan barang-barang konsumtif. Ketika ikan sulit didapat, nelayan pun terpaksa menjual kembali perhiasan emas yang dimiliki. Begitulah siklusnya. Entah mengapa, perhiasan emas harus selalu dibeli. Mungkin menggunakan cincin, kalung, giwang dan perhiasan emas, menunjukkan status seseorang. Tapi apakah itu perlu dilakukan?

Di TPI Bayah, aku kembali tercenung. Dari sekian ribu nelayan di Bayah, hanya beberapa yang jadi juragan. Tapi mereka pun, kini menghadapi problem sejak harga BBM melambung tinggi. Kapal-kapal mereka teronggok.

Setiap kali aku bertemu dengan nelayan, setiap kali pula aku selalu berpikir, mengapa Indonesia negara yang wilayah lautnya sangat luas dan potensi ikannya luar biasa, tapi nelayannya tetap miskin? Buruh-buruh nelayan itu selalu terjerat kemiskinan struktural. Angka putus sekolah di Kabupaten Lebak cukup tinggi. Rata-rata anak-anak bersekolah sampai usia 6,6 tahun.

Nelayan pantai selatan tampaknya belum diperhatikan. Padahal dibandingkan dengan pantai utara Jawa, potensi laut di pantai selatan sangat besar. Laut selatan cenderung underfishing.


Bayangkan, betapa besarnya potensi laut kita. Tapi nelayan kita selalu terjerat kemiskinan struktural. Entah apa salah Indonesia. Negara yang kaya raya, potensi laut yang juga kaya, tetapi nelayannya selalu terjerat kemiskinan.

Entah siapa yang salah. Salah uruskah? Salah pemimpin negeri inikah? Terlalu banyak koruptorkah? Ah, nelayan hanya menjadi obyek politik pada saat pemilihan bupati, gubernur, presiden. Nelayan tak lebih menjadi obyek janji-janji politik...
Serpong, 12 Oktober 2007

Comments

Endro Catur said…
Sebenarnya tidak ada masalah membeli perhiasan - dan perhiasan yang mereka beli bukan barang konsumtif lho, tapi untuk tabungan ketika paceklik (efek show-off saya lupakan sejenak) - tapi yeng lebih positif untuk mereka mungkin dengan cara menginvest uang mereka di barang produktif: mesin kapal yang lebih besar (supaya daya jelajah kapal juga lebih jauh), jaring yang lebih kuat (supaya daya tangkapnya lebih tinggi). Ah sayang saya nggak tinggal dekat mereka... Terimakasih atas tulisannya yang inspiring

Popular posts from this blog

Masuk dalam Lima Besar Blog Terbaik 2008 Versi Maverick Indonesia

Kolom Blog Adhi Ksp: Paris van Java dan Wawa Sulaeman yang Fenomenal

N95 8GB, Multimeda dalam Genggaman Tangan