Kolom Blog Adhi Ksp: Paris van Java, Menikmati Alfresco Dining
Kolom Blog Adhi Ksp
Paris van Java, Menikmati Alfresco Dining
MENGAPA Paris van Java di Bandung mendulang sukses? Jawabannya cuma satu: pengunjung mendapatkan suasana makan 'alfresco dining, makan di alam terbuka di resto-resto di sana. Suasana makan yang lebih mengasyikkan. Saat malam tiba, suasana temaram dengan lilin di meja, membawa pengunjung masuk dalam suasana romantis.
Mungkin bisa disamakan atau mirip-mirip ketika kita menikmati makan malam di resto-resto di Clarke Quay di bawah kanopi, sambil melihat pemandangan Sungai Singapura yang bersih. Atau menikmati kafe di kawasan Orchard Road, sambil ngopi di antara belantara gedung pusat perbelanjaan mewah. Atau menikmati kafe-kafe tepi jalan di jantung Kota Paris dan Roma.
Kelas menengah Jakarta dan Bandung menikmati Paris van Java, yang kini hadir sebagai salah satu ikon Kota Bandung. Lihat saja mobil-mobil yang diparkir di halaman, berpelat B dan D. Apalagi saat ini jarak Jakarta-Bandung hanya sekitar dua jam atau kurang. Orang Jakarta bisa pulang lagi kok, jika memang berniat menghabiskan malam di Bandung. Tak ada bedanya jika kita terjebak macet di Jakarta, yang juga menghabiskan waktu kurang lebih sama.
Paris van Java. Saya ke tempat ini bulan Maret 2007 lalu. Dan sekarang bulan September 2007. Resto-resto di sana bertambah banyak. Hari Sabtu (15/9) malam lalu, saya bersama keluarga menikmati Paris van Java. Waw, hampir semua tempat duduk di resto-resto di sana penuh. Mulai dari Starbucks Coffee, Putri Kenanga, Red Tomato, Ta Wan, J.Co, Sushigroove, KFC, Javana Bistro, Zenbu, Mocha Blends, Kafe Manchester United, Black Canyon Coffee, Oh La La Cafe, BMC, Cafe Halaman, Red Bean, Newspaper, Gelato Bar, Katjapiring, Zukusuki, Raffel's, Vegas Hotdog sampai Little Tokyo.
Blitz Megaplex yang membuka pertama di Paris van Java juga mendulang sukses. Blitz konon menguasai pangsa pasar penonton bioskop di Kota Bandung, lebih dari separuh penikmat film di Bandung lebih suka datang ke Blitz. Dan kini Blitz buka di Grand Indonesia (milik Grup Djarum) di Jakarta. Jaringan Cinema 21 mengubah wajah bioskop 21 dengan tampilan lebih wah di sejumlah tempat di Jakarta dan Tangerang.
Paris van Java dan Blitz juga fenomena menarik. Pemilik Paris van Java, Wawa Sulaeman, arsitek lulusan ITB adalah kuncinya. Keberanian menciptakan pusat perbelanjaan berbeda, sebuah resor lifestyle berkonsep 'main street' dan 'alfresco dining', yang memang belum ada duanya di Indonesia. Kalau tempat makan bersuasana 'alfresco dining'? Beberapa sudah ada, seperti Benton Junction di Lippo Karawaci Tangerang ataupun Pisa Cafe di Menteng, Jakarta Pusat.
Dan kini, lihatlah Summarecon Mal Serpong membangun downtown tempat makan bersuasana 'alfresco dining'. Kabarnya, Supermal Karawaci di Tangerang pun mengubah konsep mal dengan mengedepankan hal yang sama. Paris van Java menjadi inspirasi.
Bermalam minggu di Paris van Java, saya memilih Black Canyon Coffee. Kami menikmati masakan Thailand yang pedas, Tom Yam dan salad thai yang unik. Orang lalu lalang di samping tempat duduk kami, tak henti-hentinya. Bahkan selepas pukul 22.30 pun, Paris van Java tetap padat, sementara toko-toko fashion dan butik branded sudah tutup. Orang ramai menyaksikan permainan bungy trampolin yang memacu adrenalin.
Kalau bisa berlibur ke Bandung dan kota-kota di Indonesia yang eksotis, mengapa harus menghabiskan uang ke negeri seberang? Bandung memiliki lebih dari 200 tempat terbaik mulai dari kafe, resto, oleh-oleh, pusat hiburan, factory outlet, distro dan hotel berbintang. Betul, Bandung tidak kalah eksotis ketimbang Anda menghabiskan uang Anda di Singapura ataupun Malaysia. Mengapa Anda, terutama yang membaca blog ini dari luar negeri atau luar kota, tidak mengunjungi Bandung (lagi)?
Serpong, 16 September 2007
Paris van Java, Menikmati Alfresco Dining
MENGAPA Paris van Java di Bandung mendulang sukses? Jawabannya cuma satu: pengunjung mendapatkan suasana makan 'alfresco dining, makan di alam terbuka di resto-resto di sana. Suasana makan yang lebih mengasyikkan. Saat malam tiba, suasana temaram dengan lilin di meja, membawa pengunjung masuk dalam suasana romantis.
Mungkin bisa disamakan atau mirip-mirip ketika kita menikmati makan malam di resto-resto di Clarke Quay di bawah kanopi, sambil melihat pemandangan Sungai Singapura yang bersih. Atau menikmati kafe di kawasan Orchard Road, sambil ngopi di antara belantara gedung pusat perbelanjaan mewah. Atau menikmati kafe-kafe tepi jalan di jantung Kota Paris dan Roma.
Kelas menengah Jakarta dan Bandung menikmati Paris van Java, yang kini hadir sebagai salah satu ikon Kota Bandung. Lihat saja mobil-mobil yang diparkir di halaman, berpelat B dan D. Apalagi saat ini jarak Jakarta-Bandung hanya sekitar dua jam atau kurang. Orang Jakarta bisa pulang lagi kok, jika memang berniat menghabiskan malam di Bandung. Tak ada bedanya jika kita terjebak macet di Jakarta, yang juga menghabiskan waktu kurang lebih sama.
Paris van Java. Saya ke tempat ini bulan Maret 2007 lalu. Dan sekarang bulan September 2007. Resto-resto di sana bertambah banyak. Hari Sabtu (15/9) malam lalu, saya bersama keluarga menikmati Paris van Java. Waw, hampir semua tempat duduk di resto-resto di sana penuh. Mulai dari Starbucks Coffee, Putri Kenanga, Red Tomato, Ta Wan, J.Co, Sushigroove, KFC, Javana Bistro, Zenbu, Mocha Blends, Kafe Manchester United, Black Canyon Coffee, Oh La La Cafe, BMC, Cafe Halaman, Red Bean, Newspaper, Gelato Bar, Katjapiring, Zukusuki, Raffel's, Vegas Hotdog sampai Little Tokyo.
Blitz Megaplex yang membuka pertama di Paris van Java juga mendulang sukses. Blitz konon menguasai pangsa pasar penonton bioskop di Kota Bandung, lebih dari separuh penikmat film di Bandung lebih suka datang ke Blitz. Dan kini Blitz buka di Grand Indonesia (milik Grup Djarum) di Jakarta. Jaringan Cinema 21 mengubah wajah bioskop 21 dengan tampilan lebih wah di sejumlah tempat di Jakarta dan Tangerang.
Paris van Java dan Blitz juga fenomena menarik. Pemilik Paris van Java, Wawa Sulaeman, arsitek lulusan ITB adalah kuncinya. Keberanian menciptakan pusat perbelanjaan berbeda, sebuah resor lifestyle berkonsep 'main street' dan 'alfresco dining', yang memang belum ada duanya di Indonesia. Kalau tempat makan bersuasana 'alfresco dining'? Beberapa sudah ada, seperti Benton Junction di Lippo Karawaci Tangerang ataupun Pisa Cafe di Menteng, Jakarta Pusat.
Dan kini, lihatlah Summarecon Mal Serpong membangun downtown tempat makan bersuasana 'alfresco dining'. Kabarnya, Supermal Karawaci di Tangerang pun mengubah konsep mal dengan mengedepankan hal yang sama. Paris van Java menjadi inspirasi.
Bermalam minggu di Paris van Java, saya memilih Black Canyon Coffee. Kami menikmati masakan Thailand yang pedas, Tom Yam dan salad thai yang unik. Orang lalu lalang di samping tempat duduk kami, tak henti-hentinya. Bahkan selepas pukul 22.30 pun, Paris van Java tetap padat, sementara toko-toko fashion dan butik branded sudah tutup. Orang ramai menyaksikan permainan bungy trampolin yang memacu adrenalin.
Kalau bisa berlibur ke Bandung dan kota-kota di Indonesia yang eksotis, mengapa harus menghabiskan uang ke negeri seberang? Bandung memiliki lebih dari 200 tempat terbaik mulai dari kafe, resto, oleh-oleh, pusat hiburan, factory outlet, distro dan hotel berbintang. Betul, Bandung tidak kalah eksotis ketimbang Anda menghabiskan uang Anda di Singapura ataupun Malaysia. Mengapa Anda, terutama yang membaca blog ini dari luar negeri atau luar kota, tidak mengunjungi Bandung (lagi)?
Serpong, 16 September 2007
Comments